Langkah DPR-RI
menggodok RUU Advokat sebagai langkah menggantikan keberadaan UU No. 18 Tahun
2003, menimbulkan pro kontra dikalangan advokat dan juga akademisi. RUU Advokat
dinilai oleh sebagian besar advokat yang ada saat ini cenderung menimbulkan
ketidak solidan antar advokat.
Satu hal lagi yang
cukup aneh, RUU Advokat tiba-tiba muncul dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) Prioritas 2012, padahal RUU yang diusulkan Badan legislasi (Baleg)
itu sudah ditolak mayoritas anggota dewan karena tidak pernah dibahas di Komisi
III dan tidak ada usulan revisi kepada Baleg DPR RI. Dapat dikatakan RUU Advokat
ini laksana “RUU Siluman” yang muncul begitu saja entah demi memenuhi
kepentingan siapa dibalik semua ini. Masih banyak RUU-RUU terkait penegakan
hukum yang harus diprioritaskan DPR-RI seperti RUU KUHP, RUU KUHAP dan RUU lain
terkait penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.
Berkaca dari ketentuan UU No. 18 Tahun
2003 dibandingkan dengan RUU Advokat, dapat dikatakan keberadaan UU 18 Tahun
2003 jauh lebih menjamin kepastian hukum, terkait dengan pengaturan hak
kewajiban, kewenangan, pengawasan, honorarium dan bantuan hukum Cuma-cuma, struktur
keorganisasian, kepemimpinan dan juga pengawasan terhadap berjalannya profesi
advokat tersebut baik hubungan dengan klien, hubungan sesame rekan advokat,
ataupun hubungan dengan penegak hukum lainnya.
Sementara itu, RUU advokat
menghilangkan beberapa hal sangat penting, seperti kedudukan organisasi induk
semacam “Indonesia Bar Association”
yang mewakili kekuasaan tunggal organisasi advokat. Keadaan ini seperti
mengembalikan “luka lama” kalangan advokat dimana lahir berbagai organisasi
advokat dengan pengaturan dan administrasi sendiri-sendiri sehingga kode etik
advokat sulit ditegakkan. Akan muncul kekhawatiran dimana, seorang advokat yang
diputus melanggar kode etik dari satu organisasi akan “lompat” organisasi untuk
membersihkan nama dan status kedudukan advokatnya. Sangat berbahaya sekali
apabila seluruh organisasi yang oleh RUU Advokat ini bisa dibentuk oleh advokat
dan berbadan hukum memiliki kewenangan yang sifatnya administrasi dan regulasi.
Selain itu RUU advokat juga
mengilangkan pengaturan honorer, bantuan hukum cuma-cuma atau pro-bono yang
selama ini selalu menjadi kewajiban tersendiri bagi advokat sebagai wujud nilai-nilai
universalitas dimana advokat dikatakan sebagai officum nobile. Dengan dihilangkannya bantuan hukum cuma-cuma
membuat advokat tidak akan memiliki tingkat kepekaan sosial yang tinggi dalam
mencapai tujuan hukum.
Etika dan standar profesi mensyaratkan advokat mempunyai kompetensi khusus, kode etik profesi dan standar profesi, berhimpun dalam satu organisasi profesi, serta memiliki lembaga yang menegakkan etik dan standar profesi apabila diduga ada pelanggaran terhadap pelaksanaan kode etik profesinya.
Selanjutnya, munculnya rumusan pasal yang menyatakan advokat sebagai mitra penegak hukum
juga merupakan bencana bagi profesi advokat. Dengan pasal yang menyebutkan
advokat sebagai mitra penegak hukum, lepaslah status advokat sebagai salah satu
aparatur penegak hukum sebagaimana diatur UU No. 18 Tahun 2003 yang menjadi
pedoman advokat hingga saat ini. Dengan rumusan pasal dalam RUU Advokat ini, bisa
dikatakan posisi advokat tidak lebih baik dari HANSIP atau SATPAM yang juga
mitra penegak hukum.