Friday 26 April 2013

RUU ADVOKAT; Bencana Dalam Profesi Advokat


Langkah DPR-RI menggodok RUU Advokat sebagai langkah menggantikan keberadaan UU No. 18 Tahun 2003, menimbulkan pro kontra dikalangan advokat dan juga akademisi. RUU Advokat dinilai oleh sebagian besar advokat yang ada saat ini cenderung menimbulkan ketidak solidan antar advokat.
Satu hal lagi yang cukup aneh, RUU Advokat tiba-tiba muncul dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2012, padahal RUU yang diusulkan Badan legislasi (Baleg) itu sudah ditolak mayoritas anggota dewan karena tidak pernah dibahas di Komisi III dan tidak ada usulan revisi kepada Baleg DPR RI. Dapat dikatakan RUU Advokat ini laksana “RUU Siluman” yang muncul begitu saja entah demi memenuhi kepentingan siapa dibalik semua ini. Masih banyak RUU-RUU terkait penegakan hukum yang harus diprioritaskan DPR-RI seperti RUU KUHP, RUU KUHAP dan RUU lain terkait penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

Berkaca dari ketentuan UU No. 18 Tahun 2003 dibandingkan dengan RUU Advokat, dapat dikatakan keberadaan UU 18 Tahun 2003 jauh lebih menjamin kepastian hukum, terkait dengan pengaturan hak kewajiban, kewenangan, pengawasan, honorarium dan bantuan hukum Cuma-cuma, struktur keorganisasian, kepemimpinan dan juga pengawasan terhadap berjalannya profesi advokat tersebut baik hubungan dengan klien, hubungan sesame rekan advokat, ataupun hubungan dengan penegak hukum lainnya.
Sementara itu, RUU advokat menghilangkan beberapa hal sangat penting, seperti kedudukan organisasi induk semacam “Indonesia Bar Association” yang mewakili kekuasaan tunggal organisasi advokat. Keadaan ini seperti mengembalikan “luka lama” kalangan advokat dimana lahir berbagai organisasi advokat dengan pengaturan dan administrasi sendiri-sendiri sehingga kode etik advokat sulit ditegakkan. Akan muncul kekhawatiran dimana, seorang advokat yang diputus melanggar kode etik dari satu organisasi akan “lompat” organisasi untuk membersihkan nama dan status kedudukan advokatnya. Sangat berbahaya sekali apabila seluruh organisasi yang oleh RUU Advokat ini bisa dibentuk oleh advokat dan berbadan hukum memiliki kewenangan yang sifatnya administrasi dan regulasi.
Selain itu RUU advokat juga mengilangkan pengaturan honorer, bantuan hukum cuma-cuma atau pro-bono yang selama ini selalu menjadi kewajiban tersendiri bagi advokat sebagai wujud nilai-nilai universalitas dimana advokat dikatakan sebagai officum nobile. Dengan dihilangkannya bantuan hukum cuma-cuma membuat advokat tidak akan memiliki tingkat kepekaan sosial yang tinggi dalam mencapai tujuan hukum.

Etika dan standar profesi mensyaratkan advokat mempunyai kompetensi khusus, kode etik profesi dan standar profesi, berhimpun dalam satu organisasi profesi, serta memiliki lembaga yang menegakkan etik dan standar profesi apabila diduga ada pelanggaran terhadap pelaksanaan kode etik profesinya.
Selanjutnya, munculnya rumusan pasal yang menyatakan advokat sebagai mitra penegak hukum juga merupakan bencana bagi profesi advokat. Dengan pasal yang menyebutkan advokat sebagai mitra penegak hukum, lepaslah status advokat sebagai salah satu aparatur penegak hukum sebagaimana diatur UU No. 18 Tahun 2003 yang menjadi pedoman advokat hingga saat ini. Dengan rumusan pasal dalam RUU Advokat ini, bisa dikatakan posisi advokat tidak lebih baik dari HANSIP atau SATPAM yang juga mitra penegak hukum.

Sidoarjo; 26 April 2013

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)