Sunday 7 August 2016

Kesesatan Dalam Penerbitan Hak Merek “Mendoan”

Salah satu berita yang cukup hangat saat ini adalah persetujuan permohonan hak merek yang diajukan oleh Fudji Wong atas Pendaftaran Hak Merek “Medoan” dengan nomor sertifikat hak merek IDM000237714 yang terdaftar pada tanggal 23 Februari 2015 hingga 15 Mei 2018. Penerbitan hak merek “Mendoan” ini kemudian melahirkan protes dari beberapa kalangan, terutama sekali masyarakat Banyumas yang merasa merek “Mendoan” adalah bagian dari kehidupan masyarakat Banyumasan.
Merek sendiri berkaitan erat dengan kata “brand” dalam Bahasa Inggris yaitu “nama” atau “tanda” yang dilekatkan pada barang tertentu. Merek memiliki peran penting dalam peningkatan barang dan jasa yang membedakan barang atau jasa suatu produk dengan barang ata jasa produk lainnya, meskipun dengan jenis yang sama yang tentunya terkait dengan jaminan kualitas atas produk barang atau jasa yang dihasilkan.
Kebutuhan akan perlindungan merek sendiri pada dasarnya tumbuh dan berkembang seiring kebutuhan jaminan atas produk dagang. Merek merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual yang dianggap sebagai salah satu asset dalam dunia perdagangan.
Fungsi merek sendiri dapat dilihat dari 3 sisi yaitu dari sisi produsen, pedagang dan konsumen. Dari sisi produsen sangat diperlukan untuk membedakan produk yang dihasilkan dengan produk milik perusahaan lain terutama dalam produk yang sama. Dari sisi pedagang berkaitan erat dengan sarana promosi dan memperluas perdagangannya. Sedangkan dari sisi konsumen sendiri, merek berguna dalam menentukan pilihan konsumen atas produk yang akan digunakan atau dibelinya. Hubungan antara 3 sisi produsen, pedagang dan konsumen dapat diumpamakan sebagai mesin peggerak roda perdagangan. Merek memilik peran sangat strategis bagi pemilik suatu produk khususnya untuk mengenalkan produk yang dimilikinya.
Akibat arti penting hak merek tersebut, sudah seharusnya mendapatkan perlindungan secara hukum agar pemilik hak merek memperoleh jaminan kepastian hukum dan keadilan dari perbuatan-perbuatan yang menyalahgunakan merek yang dimilikinya. Konsep perlindungan hukum atas hak merek ini mengacu pada sifat hak merek yang ekslusif.
Hak eksklusif merek ini bersifat khusus dan tidak dapat diganggu gugat. Tanpa adanya izin atau lisensi dari pemegang merek, maka pihak lain tidak dapat menggunakan kekhususan dari merek. Apabila kemudian ada pihak lain yang menggunakan kekhususan merek yang sudah memiliki eksklusifitas, maka penyalahgunaan penggunaan merek tersebut memberikan konsekuensi hukum bagi pihak yang menyalahgunakan baik konsekuensi hukum administrasi, hukum perdata dan/atau hukum pidana.
Berangkat dari pengertian Merek yang terdapat pada UU 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang menyebutkan “Merek adalah tanda yang berupa gambar nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsurunsur tersebut yang memiliki daya pembedaan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hak merek memiliki unsur :
1.      Merupakan suatu tanda;
2.      Mempunyai daya pembeda;
3.      Digunakan dalam perdagangan;
4.      Digunakan pada barang atau jasa yang sejenis.
 
Sertifikat merek sebagaimana dimaksud merupakan alat bukti resmi bahwa pemilik merek teleh memakai merek yang bersangkutan pada tanggal pendaftaran. Kegunaan sertifikat merek sebagai bukti resmi adalah untuk membuktikan dalam suatu perkara tentang merek bahwa merek tersebut telah dipakai, maka pemilik merek dapat memberikan bukti resmi yang berupa surat pendaftaran tersebutt.
Sehubungan dengan permohonan pendaftaran merek, tidak semua permohonan pendaftaran merek dikabulkan oleh Direktorat Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut Direktorat Jenderal) karena permohonan pendaftaran merek dapat menghadapi tiga kemungkinan yaitu tidak dapat didaftarkan, ditolak pendaftarannya dan diterima pendaftarannya.
Merek Tidak Dapat Didaftarkan
Secara umum, hak merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beriktikad tidak baik. Pemohon yang beriktikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apa pun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.
Selain itu, merek harus memiliki pembeda yang cukup (capable of distinguishing) artinya memiliki kekuatan untuk membedakan barang atau jasa produk suatu perusahaan lainnya sehingga apabila merek yang didaftarkan tidak memiliki pemebeda yang cukup akan tidak dapat untuk didaftarkan. Agar mempunyai daya pembeda, merek itu harus memberikan penentuan pada barang atau jasa yang bersangkutan. Merek dapat dicantumkan pada barang, atau pada bungkusan barang atau dicantumkan secara tertentu pada hal-hal yang bersangkutan dengan jasa.
Untuk segala sesuatu yang telah menjadi sebagai tanda milik umum, maka permohonan mereknya juga tidak dapat diterima. Salah satu contoh merek seperti ini adalah tanda tengkorak di atas dua tulang yang bersilang yang secara umum diketahui sebagai tanda bahaya. Tanda seperti itu adalah tanda yang bersifat umum dan telah menjadi milik umum. Oleh karena itu, tanda ini tidak dapat digunakan sebagai merek.
Pendaftaran merek yang hanya berdasarkan pada tanda yang hanya keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa pun tidak akan diterima perdaftarannya. Maksudnya, merek tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, contohnya merek kopi atau gambar kopi untuk jenis barang kopi atau produk kopi.
Merek Yang Ditolak Pendaftarannya
Selain merek tidak dapat didaftarkan, dalam hal tertentu pengajuan hak merek harus ditolak dalam proses pendaftarannya apabila terdapat hal-hal sebagai berikut.
1.      Merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis.
2.       Merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau   jasa sejenis. Untuk persamaan pada pokoknya terhadap merek terkenal ini, tidak ditentukan persyaratan bahwa merek terkenal tersebut sudah terdaftar (di Indonesia). Hal ini berarti, walaupun merek terkenal tersebut tidak terdaftar di Indonesia, tetap saja dilindungi berdasarkan UndangUndang Merek.
3.      Merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal. Ini berarti bahwa merek juga tidak diakui keabsahannya jika memiliki persamaan dengan indikasi-geografis.
Selain 3 hal diatas, permohonan hak merek juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila terdapat hal-hal berikut;
1.      Merek merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.
2.      Merek merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
3.      Merek merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang
Apabila memerhatikan ketentuan tentang kriteria merek yang tidak dapat didaftar dan yang ditolak pendaftarannya, diterbitkannya sertifikat hak merek oleh Direktorat Jenderal HKI atas permohonan Fudji Wong untuk merek “Mendoan” adalah suatu kekeliruan yang nyata. Hal ini terlihat karea merek “Mendoan” dengan IDM IDM000237714 pada dasarnya adalah suatu indikasi-geografis yang sudah dikenal sebagai milik dari masyarakat Banyumas.
Namun, karena sudah terbitnya merek “Mendoan” ini, langkah yang dapat diambil adalah pihak Direktoral Jenderal HKI dapat melakukan peninjauan kembali atas merek yang telah diterbitkan sertifikat mereknya dan melakukan pencabutan atas hak mereknya. Apabila langkah ini tidak dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI, maka masyarakat Banyumas atau Pemerintah Kabupaten Banyumas selaku pihak yang merasa dirugikan bisa saja mengajukan gugatan pembatalan hak merek melalui pengadilan.
Satu hal yang pasti, pelajaran berharga yang dapat diperoleh dari terbitnya Sertifikat Hak Merek “Mendoan” kepada salah satu pengusaha yang disebut oleh sebagian kalangan sebagai “privatisasi” milik umum ini adalah masih kurangnya perhatian pemerintah daerah akan arti penting indikasi geografis yang dimiliki daerahnya masing-masing. Semoga ke depan, naik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bisa lebih memerhatikan arti penting Hak Kekayaan Intelektual, terutama sekali indikasi geografis.

Noor Aufa, SH, CLA
aufa.lawyer@gmail.com 




Arbitrase, Sebuah Dilema Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia


Arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang banyak digunakan khususnya di bidang perdagangan, memang mendapatkan tempat yang cukup baik bagi kalangan bisnis, tapi kenyataannya khusus untuk wilayah Indonesia dan Vietnam, pilihan penyelesaian sengketa ini masih merupakan hal yang tidak lumrah. Inilah yang tergambar dari uraian yang disampaikan beberapa panelis pada kegiatan Legal Confex tanggal 24 Februari 2015 di Suntech Convention Hall Singapura yang dihadiri ratusan in house legal dan lawyer serta praktisi bisnis internasional.

“Pilihan penyelesaian sengketa arbitrase untuk wilayah Indonesia dan Vietnam, tampaknya bukanlah sesuatu yang dapat diterima secara baik,” ungkap Nishta Kharb Shukla, Regional Counsel Asia Carestream Health Singapore yang juga diamini oleh Gregory Travaini, Advocate Herbert Smith Freehills LLP France dan Yu Jin Tay Partners DLA Piper Singapore sebagai panelis dalam tema “Insight Into International Arbitration”.
Sebagai salah seorang peserta dalam acara Legal ConFex 2016 mewakili Kantor Hukum LN & Associates, saya merasa hal ini bukan sesuatu yang baru. Selama ini, keberadaan Arbitrase sebagai alternative penyelesaian sengketa memang ibarat “anak ayam yang kehilangan induknya”, dimana keberadaannya diakui tetapi tidak mendapatkan tempat sebagaimana mestinya.
Cukup pesatnya perkembangan Arbitrase di kalangan bisnis internasional, pada dasarnya karena karakteristik cepat, efisien dan tuntas,  arbitrase menganut prinsip win-win solution, dan tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga banding dan kasasi.  Biaya arbitrase juga lebih terukur. Keunggulan lain arbitrase adalah putusannya yang serta merta (final) dan mengikat (binding), selain sifatnya yang rahasia (confidential) di mana proses persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan.
Berangkat dari pengaturan Undang-Undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat (1) menjelaskan:
"Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa".
Berdasarkan asas timbal balik putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri. Mengenai putusan arbitrase internasional dan ketentuan pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa  dalam Bab VI Pasal 65 sampai dengan Pasal 69. Ketentuan–ketentuan tersebut pada dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York 1958.
Walaupun terdapat pengaturan cukup jelas dan tegas mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dalam UU No. 30 Tahun 1999, dibandingkan dengan masa ketika belum adanya pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut (sebelum adanya UU No. 30 Tahun 1999), Indonesia masih sering menuai kritik dari dunia internasional mengenai pelaksanaan putusan arbtirase internasional. Kesan ini pula yang masih mengemukakan dalam Legal ConFex 2016 mengenai pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase untuk Indonesia.
Masalah utama yang sering dipersoalkan dunia internasional bahwa pengadilan Indonesia enggan melaksanakan putusan arbitrase atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dengan alasan putusan arbitrase asing bertentangan dengan ketertiban umum. Seperti diketahui, walaupun ketertiban umum dirumuskan sebagai ketentuan dan sendi pokok hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa - dalam hal ini Indonesia- namun penerapan kriteria ini tidak selalu jelas, sehingga keadaan demikian dilihat oleh dunia internasional memberikan suatu ketidakpastian hukum. 
UU No. 30 Tahun 1999 hanya mencantumkan kepentingan umum (public policy) sebagai alasan penolakan putusan arbitrase asing (internasional), padahal Konvensi New York dalam Pasal 5 mencantumkan sejumlah ketentuan lain yang dapat menjadi alasan penolakan putusan arbitrase asing (internasional), yang menyangkut hal-hal due prosess of law dapat dipertanyakan walaupun ketentuan-ketentuan lainnya tersebut tidak dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia (UU No. 30 Tahun 1999). Apakah hakim pengadilan Indonesia tidak terikat pada ketentuan-ketentuan tersebut, sedangkan Indonesia adalah anggota Konvensi New York?. 
Pelaksanaan eksekusi apabila eksekuatur telah diperoleh masih sering menyisakan berbagai permasalahan di lapangan, apabila terjadi perlawanan terhadap pelaksanaan eksekusi yang bersangkutan dengan alasan apapun. Seperti diketahui, prosedur pelaksanaan eksekusi menurut hukum acara perdata diselenggarakan sesuai dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan, dimana berarti dapat berlangsung dalam jangka waktu panjang. Tentu saja keadaan demikian menimbulkan perasaan ketidakpastian hukum pada pihak-pihak yang bersangkutan.
Masalah lain yang juga menimbulkan ketidakjelasan dalam arbitrase di Indonesia adalah mengenai pengertian arbitrase internasional itu sendiri. Seperti diketahui, pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 merumuskan putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbtirase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbtirase internasional. Rumusan ini dapat diartikan bahwa putusan arbitrase yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum Indonesai adalah bukan putusan arbitrase asing (internasional), atau putusan arbitrase domestik (nasional).  
Hal ini menjadi masalah mengingat Konvensi New York 1958 dalam kaitannya dengan masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase adalah menyangkut putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara yang berbeda daripada negara dimana dimintakan pengakuan dan pelaksanannya mengenai sengketa secara fisik atau hukum yang timbul antara mereka yang bersengketa.
Seperti diketahui UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase International di Indonesia, tetapi tidak mengatur sama sekali tentang penyelenggaraan arbitrase international di Indonesia. Dengan mudah orang menafsirkan bahwa setiap arbitrase yang diselenggarakan dan diputus di dalam wilayah Indonesia adalah arbitrase domestik (nasional). Seperti diketahui mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang diselenggarakan di Indonesia dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) terdapat perbedaan dalam prosedur dan jangka waktu pendaftaran, dan sebagainya. 
Sedangkan UNCITRAL Model Law dalam pasal 1 secara gamblang menegaskan bahwa arbitrase adalah internasional apabila :
a.     para pihak dalam perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian yang bersangkutan, mempunyai kedudukan bisnis di negara yang berbeda;
b.     tempat berarbitrase, tempat pelaksanaan kontrak atau tempat objek yang dipersengketakan terletak di negara yang berbeda dari tempat kedudukan bisnis para pihak yang bersengketa atau apabila para pihak secara tegas bersepakat bahwa hal yang terkait dengan perjanjian arbitrase yang bersangkutan menyangkut lebih dari suatu negara.
Dengan kata lain pada arbitrase dalam praktek di Indonesia pun (antara lain di Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) diselenggarakan arbitrase yang menyangkut unsur–unsur asing (para pihak berbeda kebangsaan/negara), dimana persidangan putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (pasal 59 dan pasal  4 dan pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999). Namun apabila dilihat dari kacamata Konvensi New York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan arbitrase internasional, sehingga dapat dilaksanakan eksekusinya di negara-negara lain yang merupakan anngota Konvensi New York.
Kenyataan lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah adalah apabila suatu lembaga arbitrase asing (internasional), misalnya I.C.C menyelenggarakan sidang juga dan atau menjatuhkan putusannya di Indonesia. Pertanyaan dapat timbul apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh pengadilan Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase domestik dengan segala akibat-akibatnya yang menyangkut prosedur pelaksanaan. 
Masalah seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara- negara lain pada umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-undangan Indonesia yang menyangkut arbitrase asing (internasional) tidak mengantisipasi ketentuan UNCITRAL Model Law. Sehingga peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesian dianggap terlalu bersifat nasional, yang tercermin antara lain dalam ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang dan putusan yang harus mencantumkan irah-irah ‘Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Ini sulit untuk dipahami oleh pihak luar. 
Untuk menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase sebagai suatu konsep penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan Indonesia dengan negara-negara lain yang ternyata memiliki kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian sengketa-sengketa hukum internasional, seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia, dalam hal ini UU No. 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL Model Law.
Disamping itu diharapkan bahwa hakim-hakim pengadilan negeri Indonesia serta semua pihak–pihak yang berkepentingan benar-benar memahami makna dan hakekat arbitrase sebab suatu konsep penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang bersifat praktis, non-konfrontatif, efisien dan efektif.

Noor Aufa



PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)