Arbitrase
sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang banyak digunakan
khususnya di bidang perdagangan, memang mendapatkan tempat yang cukup baik bagi
kalangan bisnis, tapi kenyataannya khusus untuk wilayah Indonesia dan Vietnam,
pilihan penyelesaian sengketa ini masih merupakan hal yang tidak lumrah. Inilah
yang tergambar dari uraian yang disampaikan beberapa panelis pada kegiatan
Legal Confex tanggal 24 Februari 2015 di Suntech Convention Hall Singapura yang
dihadiri ratusan in house legal dan lawyer serta praktisi bisnis internasional.
“Pilihan
penyelesaian sengketa arbitrase untuk wilayah Indonesia dan Vietnam, tampaknya
bukanlah sesuatu yang dapat diterima secara baik,” ungkap Nishta Kharb Shukla,
Regional Counsel Asia Carestream Health Singapore yang juga diamini oleh
Gregory Travaini, Advocate Herbert Smith Freehills LLP France dan Yu Jin Tay
Partners DLA Piper Singapore sebagai panelis dalam tema “Insight Into International
Arbitration”.
Sebagai
salah seorang peserta dalam acara Legal ConFex 2016 mewakili Kantor
Hukum LN & Associates, saya merasa hal ini bukan sesuatu yang baru.
Selama ini, keberadaan Arbitrase sebagai alternative penyelesaian sengketa
memang ibarat “anak ayam yang kehilangan induknya”, dimana keberadaannya diakui
tetapi tidak mendapatkan tempat sebagaimana mestinya.
Cukup
pesatnya perkembangan Arbitrase di kalangan bisnis internasional, pada dasarnya
karena karakteristik cepat, efisien dan tuntas, arbitrase menganut
prinsip win-win solution, dan tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga
banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih terukur. Keunggulan lain
arbitrase adalah putusannya yang serta merta (final) dan mengikat (binding),
selain sifatnya yang rahasia (confidential) di mana proses
persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan.
Berangkat
dari pengaturan Undang-Undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat (1) menjelaskan:
"Arbitrase merupakan cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa".
Berdasarkan
asas timbal balik putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing
dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang
melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri. Mengenai
putusan arbitrase internasional dan ketentuan pelaksanaan (eksekusi) putusan
Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No.
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Bab VI Pasal 65 sampai dengan Pasal 69.
Ketentuan–ketentuan tersebut pada dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) seperti yang
diatur dalam Konvensi New York 1958.
Walaupun
terdapat pengaturan cukup jelas dan tegas mengenai pelaksanaan putusan
arbitrase asing (internasional) dalam UU No. 30 Tahun 1999, dibandingkan dengan
masa ketika belum adanya pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut (sebelum
adanya UU No. 30 Tahun 1999), Indonesia masih sering menuai kritik dari dunia
internasional mengenai pelaksanaan putusan arbtirase internasional. Kesan
ini pula yang masih mengemukakan dalam Legal ConFex 2016 mengenai pilihan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase untuk Indonesia.
Masalah
utama yang sering dipersoalkan dunia internasional bahwa pengadilan Indonesia
enggan melaksanakan putusan arbitrase atau menolak pelaksanaan putusan
arbitrase asing (internasional) dengan alasan putusan arbitrase asing
bertentangan dengan ketertiban umum. Seperti diketahui, walaupun ketertiban
umum dirumuskan sebagai ketentuan dan sendi pokok hukum dan kepentingan
nasional suatu bangsa - dalam hal ini Indonesia- namun penerapan kriteria ini
tidak selalu jelas, sehingga keadaan demikian dilihat oleh dunia internasional memberikan
suatu ketidakpastian hukum.
UU
No. 30 Tahun 1999 hanya mencantumkan kepentingan umum (public policy) sebagai alasan
penolakan putusan arbitrase asing (internasional), padahal Konvensi New York
dalam Pasal 5 mencantumkan sejumlah ketentuan lain yang dapat menjadi alasan
penolakan putusan arbitrase asing (internasional), yang menyangkut hal-hal due prosess of law dapat
dipertanyakan walaupun ketentuan-ketentuan lainnya tersebut tidak dicantumkan
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia (UU No. 30 Tahun 1999). Apakah
hakim pengadilan Indonesia tidak terikat pada ketentuan-ketentuan tersebut,
sedangkan Indonesia adalah anggota Konvensi New York?.
Pelaksanaan
eksekusi apabila eksekuatur telah diperoleh masih sering menyisakan berbagai
permasalahan di lapangan, apabila terjadi perlawanan terhadap pelaksanaan
eksekusi yang bersangkutan dengan alasan apapun. Seperti diketahui, prosedur
pelaksanaan eksekusi menurut hukum acara perdata diselenggarakan sesuai dengan
proses pemeriksaan perkara di pengadilan, dimana berarti dapat berlangsung
dalam jangka waktu panjang. Tentu saja keadaan demikian menimbulkan perasaan ketidakpastian
hukum pada pihak-pihak yang bersangkutan.
Masalah
lain yang juga menimbulkan ketidakjelasan dalam arbitrase di Indonesia adalah
mengenai pengertian arbitrase internasional itu sendiri. Seperti diketahui,
pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 merumuskan putusan arbitrase internasional
adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbtirase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik
Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbtirase internasional. Rumusan ini
dapat diartikan bahwa putusan arbitrase yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum
Indonesai adalah bukan putusan arbitrase asing (internasional), atau putusan
arbitrase domestik (nasional).
Hal
ini menjadi masalah mengingat Konvensi New York 1958 dalam kaitannya dengan
masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase adalah menyangkut putusan
arbitrase yang dijatuhkan di negara yang berbeda daripada negara dimana
dimintakan pengakuan dan pelaksanannya mengenai sengketa secara fisik atau
hukum yang timbul antara mereka yang bersengketa.
Seperti
diketahui UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase International di Indonesia, tetapi tidak mengatur sama sekali
tentang penyelenggaraan arbitrase international di Indonesia. Dengan mudah
orang menafsirkan bahwa setiap arbitrase yang diselenggarakan dan diputus di
dalam wilayah Indonesia adalah arbitrase domestik (nasional). Seperti diketahui
mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang diselenggarakan di Indonesia dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) terdapat perbedaan dalam
prosedur dan jangka waktu pendaftaran, dan sebagainya.
Sedangkan
UNCITRAL Model Law dalam pasal 1 secara gamblang menegaskan bahwa arbitrase
adalah internasional apabila :
a. para
pihak dalam perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian yang
bersangkutan, mempunyai kedudukan bisnis di negara yang berbeda;
b. tempat
berarbitrase, tempat pelaksanaan kontrak atau tempat objek yang
dipersengketakan terletak di negara yang berbeda dari tempat kedudukan bisnis
para pihak yang bersengketa atau apabila para pihak secara tegas bersepakat
bahwa hal yang terkait dengan perjanjian arbitrase yang bersangkutan menyangkut
lebih dari suatu negara.
Dengan
kata lain pada arbitrase dalam praktek di Indonesia pun (antara lain di Badan
Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) diselenggarakan arbitrase yang menyangkut
unsur–unsur asing (para pihak berbeda kebangsaan/negara), dimana persidangan
putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (pasal 59 dan
pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999). Namun apabila dilihat dari
kacamata Konvensi New York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan
arbitrase internasional, sehingga dapat dilaksanakan eksekusinya di
negara-negara lain yang merupakan anngota Konvensi New York.
Kenyataan
lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah adalah apabila suatu
lembaga arbitrase asing (internasional), misalnya I.C.C menyelenggarakan sidang
juga dan atau menjatuhkan putusannya di Indonesia. Pertanyaan dapat timbul
apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh pengadilan Indonesia dianggap
sebagai putusan arbitrase domestik dengan segala akibat-akibatnya yang
menyangkut prosedur pelaksanaan.
Masalah
seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara- negara lain
pada umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-undangan Indonesia
yang menyangkut arbitrase asing (internasional) tidak mengantisipasi ketentuan
UNCITRAL Model Law. Sehingga peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesian
dianggap terlalu bersifat nasional, yang tercermin antara lain dalam
ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang dan
putusan yang harus mencantumkan irah-irah ‘Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang
Maha Esa’. Ini sulit untuk dipahami oleh pihak luar.
Untuk
menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase sebagai
suatu konsep penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi peraturan
perundang-undangan Indonesia dengan negara-negara lain yang ternyata memiliki
kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian sengketa-sengketa hukum internasional,
seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia, dalam hal ini UU
No. 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL Model Law.
Disamping
itu diharapkan bahwa hakim-hakim pengadilan negeri Indonesia serta semua
pihak–pihak yang berkepentingan benar-benar memahami makna dan hakekat
arbitrase sebab suatu konsep penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
bersifat praktis, non-konfrontatif, efisien dan efektif.
Noor Aufa
No comments:
Post a Comment