Mediasi penal (penal mediation) sering disebut dengan
berbagai istilah, antara lain : “mediation
in criminal cases” atau ”mediation in
penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jer-man disebut ”Der Außergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat ATA**))
dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi
penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka
mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”Victim-Offender
Medi-ation”
(VOM), Täter-Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim
Arrangement (OVA).
Mediasi penal
merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan
(yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau ”Alternative Dispute Resolution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution”[1]).
ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata[2],
tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan
di luar pengadilan, wa-laupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian
kasus pidana di luar pengadilan.
Walaupun pada
umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa
perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesai-kan di luar
pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui
mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam ma-syarakat
(musyawarah keluarga; musya-warah desa; musyawarah adat dan sebagainya).
Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada
landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara
informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat),
namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.
Dalam
perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di
berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal
sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut
Prof. Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana
menunjukkan, bahwa perbe-daan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu
besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi [3].
PENGATURAN MEDIASI PENAL DI
BEBERAPA NEGARA
N
E G A R A
|
PENGATURAN
|
AUSTRIA
|
-
Diatur
dlm amandemen KUHAP th. 1999 yang diberlakukan pada Januari 2000.
-
Pada
mulanya diversi/pengalihan penuntutan hanya untuk anak melalui ATA-J (Außergerichtlicher
Tatausgleich für Jugendliche), namun
kemudian bisa juga untuk orang dewasa melalui ATA-E (Außergerichtlicher
Tatausgleich für Erwachsene) yang
merupakan bentuk “victim-offender
mediation” (VOM).
-
Menurut
Pasal 90g KUHAP Austria Penuntut Umum dapat mengalihkan perkara pidana dari
pengadilan apabila:
1.
terdakwa
mau mengakui perbuatannya,
2.
siap
melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul atau
kontribusi lainnya untuk memperbaiki akibat dari perbuatannya, dan setuju
melakukan setiap kewajiban yang diperlukan yang menunjukkan kemauannya untuk
tidak mengulangi perbuatannya di masa yad.
-
Tindak
pidana yang dapat dikenakan tindakan diversi, termasuk mediasi, apabila :
1.
diancam
dengan pidana tidak lebih dari 5 th. penjara atau 10 th. dalam kasus anak.
2.
dapat
juga untuk kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely severe violence), dg catatan diversi tidak boleh,
apabila ada korban mati (seperti dalam kasus manslaughter).
|
BELGIA
|
a. Pada
tahun 1994 diberlakukan UU tentang mediasi-penal (the Act on Penal Mediation) yang juga disertai dengan pedomannya
(the Guideline on Penal Mediation).
b. Tujuan
utama diadakannya “penal mediation”
ini adalah untuk memperbaiki kerugian materiel dan moral yang ditimbulkan
karena adanya tindak pidana. Namun, mediasi juga dapat dilakukan agar sipelaku melakukan suatu terapy atau
melakukan kerja sosial (community service).
c. Penuntut
umum tidak meneruskan perkara ke pengadilan, apabila pelaku berjanji untuk
memberi kompensasi atau telah memberi kompensasi kepada korban.
d. Pada
mulanya hanya untuk delik yang diancam maksimum 5 tahun penjara, tetapi
dengan adanya ketentuan baru ini, dapat digunakan juga untuk delik yang diancam
pidana maksimum 2 tahun penjara.
e. Ketentuan
hukum acaranya dimasukkan dalam Pasal 216ter Code of Criminal Procedure (10.02.1994).
|
JERMAN
|
-
Tahun 1990, OVA (offender-victim
arrangement) dimasukkan ke dalam hukum pidana anak secara umum (§ 10 I
Nr. 7 JGG), dan dinyatakan sebagai “a
means of diversion” (§ 45 II S. 2 JGG).
-
Pada 12 Januari 1994, ditambahkan Pasal 46a ke dalam
StGB (KUHP) yg memberi kemungkinan
penyelesaian kasus pidana antara pelaku dan korban melalui kompensasi
(dikenal dengan istilah Täter-Opfer-Ausgleich - TOA).
-
Pasal 46a StGB : apabila pelaku memberi ganti
rugi/kompensasi kepada korban secara penuh atau sebagian besar, atau telah
dengan sungguh-sungguh berusaha keras untuk memberi ganti rugi, maka
pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat
dibebaskan dari pemidanaan. Pembebasan pidana hanya dapat diberikan
apabila deliknya diancam dengan maksimum pidana 1 tahun penjara atau 360 unit
denda harian.
-
Apabila TOA telah dilakukan, maka penuntutan
dihentikan (s. 153b StPO/ Strafprozessord-nung/KUHAP).
|
PERANCIS
|
-
UU 4 Januari 1993 mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code of
Criminal Procedure) yang dikembangkan berdasar UU 18 Desember 1998
dan UU 9 Juni 1999 : penuntut umum dapat melakukan mediasi antara pelaku
dengan korban, sebelum mengambil keputusan dituntut tidaknya seseorang.
-
Inti Pasal 41 CCP : penuntut umum dapat melakukan
mediasi penal (dengan persetujuan korban dan pelaku) apabila hal itu
dipandang merupakan suatu tindakan yang dapat memperbaiki kerugian yang
diderita korban, mengakhiri kesusahan,
dan membantu memperbaiki (merehabilitasi) si pelaku.
-
Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan
baru dilakukan; namun apabila berhasil penuntutan dihentikan (s. 41 dan s.
41-2 CCP-
Code of Criminal Procedure).
-
Untuk tindak pidana tertentu, Pasal 41-2 CCP
membolehkan penuntut umum meminta pelaku untuk memberi kompensasi kepada
korban (melakukan mediasi penal), daripada mengenakan pidana denda, mencabut
SIM, atau memerintahkan sanksi alternatif berupa pidana kerja sosial selama
60 jam. Terlaksananya mediasi penal ini, menghapuskan penuntutan.
-
Tindak pidana tertentu yang dimaksud Psl. 41-2 CCP
itu ialah : articles 222-11, 222-13 (1° to 11°), 222-16, 222-17, 222-18
(first paragraph), 227-3 to 227-7, 227-9 to 227-11, 311-3, 313-5, 314-5,
314-6, 321-1, 322-1, 322-2, 322-12 to 322-14, 433-5 to 433-7 and 521-1 of the
Criminal Code, under the articles 28 and 32 (2°) of the Ordinance of 18 April
1939 fixing the regime of war materials, arms and munitions, under Article L.
1 of the Traffic Code and under Article L. 628 of the Public Health Code
|
POLANDIA
|
-
mediasi pidana diatur dalam
Pasal 23a CCP (Code of Criminal
Procedure) dan Peraturan Menteri Kehakiman 13 Juni 2003 tentang “Mediation proceedings in criminal matters”.
-
Pengadilan dan jaksa, atas
inisiatifnya atau atas persetujuan korban dan pelaku, dapat menyerahkan suatu
kasus ke lembaga terpercaya atau seseorang untuk melakukan mediasi antara
korban dan terdakwa. Proses mediasi paling lama satu bulan. Biaya proses
mediasi ditanggung oleh perbendaharaan negara (State Treasury).
-
Hasil positif dari mediasi itu menjadi alasan untuk tidak melanjutkan
proses pidana.
-
Mediasi dapat diterapkan untuk semua
kejahatan yang maksimum ancaman pidananya kurang dari 5 tahun penjara. Bahkan
kejahatan kekerasan (Violent crimes) juga dapat dimediasi.
|
MEDIASI VIOLENT CRIME
|
-
VOM
(Victim-Offender Mediation) untuk violent crime diterapkan di
Austria, Polandia, Slovenia, Canada,
USA, dan Norwegia;
-
Kasus-kasus KDRT (domestic violence) juga dapat di mediasi di United States,
Austria, Poland, Denmark and Finland.
|
Mediasi penal sering dinyatakan meru-pakan ”the third way” atau ”the
third path” dalam upaya ”crime
control and the criminal justice system” [4],
dan telah digunakan di beberapa negara. Seberapa jauh kemungkinan itu dapat
juga diterapkan di Indonesia, apa keterbatasan dan keunggulannya, serta bagaimana
pengaturannya, tentunya memerlukan kajian yang mendalam dan komprehensif. Namun
yang jelas, penyelesaian damai dan mediasi di bidang hukum pidana inipun
sebenarnya sudah dikenal dalam hukum adat dan dalam kenyataan sehari-hari.
NOOR AUFA,SH,CLA
+6282233868677
(Phone/WA)
Email : aufa.lawyer@gmail.com
**) Di Austria terdiri dari ATA-J (Außergerichtlicher
Tatausgleich für Jugendliche) untuk
anak, dan ATA-E (Außergerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene)
untuk orang dewasa.
[1] New York State Dispute Resolution Association, Inc., Alternative Dispute Resolution in New York
State, An Overview, sumber internet.
[2] Lihat UU No. 30/1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[3] Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal
Law, University of Bielefeld, Germany), “Restitution
and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and
Theoretical Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm
[4] Lihat
antara lain, Deborah Macfarlane, Victim-Offender
Mediation in France , http://www. Mediation conference.com.au/2006_Papers/Deborah%20Macfarlane%20-%20VICTIM%20OFFENDER
%20MEDIATION%20 IN%20 FRANCE1.doc ; Christa Pelikan. On Restorative
Justice, www.
restorativejustice.org/resources/docs/pelikan;
Dieter
Rössner, Mediation as a Basic Element of Crime Control: Theoretical and
Empirical Comments, wings.buffalo.edu/
law/bclc/bclrarticles/3(1)/roessner.pdf ; Tony Peters, in colla-boration
with Ivo Aertsen, Katrien Lauwaert and Luc Robert : From Community Sanctions
To Restorative Justice, The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/ no61/ ch12. pdf
No comments:
Post a Comment