Wednesday 1 November 2017

MEDIASI PENAL DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA


Mediasi penal (penal mediation) sering disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam  istilah Jer-man disebut ”Der Außergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat  ATA**)) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”Victim-Offender Medi-ation” (VOM), Täter-Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA).

Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau ”Alternative Dispute Resolution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution[1]). ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata[2], tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, wa-laupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.

Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesai-kan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam ma-syarakat (musyawarah keluarga; musya-warah desa; musyawarah adat dan sebagainya). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.

Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Prof. Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbe-daan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi [3].

PENGATURAN MEDIASI PENAL DI BEBERAPA NEGARA

N E G A R A


PENGATURAN

AUSTRIA


-          Diatur dlm amandemen KUHAP th. 1999 yang diberlakukan pada Januari 2000.
-          Pada mulanya diversi/pengalihan penuntutan hanya untuk anak melalui ATA-J (Außergerichtlicher Tatausgleich für Jugendliche), namun kemudian bisa juga untuk orang dewasa  melalui ATA-E (Außergerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene) yang merupakan bentuk “victim-offender mediation” (VOM).
-          Menurut Pasal 90g KUHAP Austria Penuntut Umum dapat mengalihkan perkara pidana dari pengadilan apabila:
1.         terdakwa mau mengakui perbuatannya,
2.         siap melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul atau kontribusi lainnya untuk memperbaiki akibat dari perbuatannya, dan setuju melakukan setiap kewajiban yang diperlukan yang menunjukkan kemauannya untuk tidak mengulangi perbuatannya di masa yad.
-          Tindak pidana yang dapat dikenakan tindakan diversi, termasuk mediasi, apabila :
1.        diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 th. penjara atau 10 th. dalam kasus anak.
2.        dapat juga untuk kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely severe violence), dg catatan diversi tidak boleh, apabila ada korban mati (seperti dalam kasus manslaughter).

BELGIA


a.       Pada tahun 1994 diberlakukan UU tentang mediasi-penal (the Act on Penal Mediation) yang juga disertai dengan pedomannya (the Guideline on Penal Mediation).
b.      Tujuan utama diadakannya “penal mediation” ini adalah untuk memperbaiki kerugian materiel dan moral yang ditimbulkan karena adanya tindak pidana. Namun, mediasi juga dapat dilakukan agar  sipelaku melakukan suatu terapy atau melakukan kerja sosial (community service).
c.       Penuntut umum tidak meneruskan perkara ke pengadilan, apabila pelaku berjanji untuk memberi kompensasi atau telah memberi kompensasi kepada korban.
d.      Pada mulanya hanya untuk delik yang diancam maksimum 5 tahun penjara, tetapi dengan adanya ketentuan baru ini, dapat digunakan juga untuk delik yang diancam pidana maksimum 2 tahun penjara.
e.       Ketentuan hukum acaranya dimasukkan dalam Pasal 216ter Code of Criminal Procedure (10.02.1994).
JERMAN


-          Pada 12 Januari 1994, ditambahkan Pasal 46a ke dalam StGB  (KUHP) yg memberi kemungkinan penyelesaian kasus pidana antara pelaku dan korban melalui kompensasi (dikenal dengan istilah Täter-Opfer-Ausgleich - TOA).
-          Pasal 46a StGB : apabila pelaku memberi ganti rugi/kompensasi kepada korban secara penuh atau sebagian besar, atau telah dengan sungguh-sungguh berusaha keras untuk memberi ganti rugi, maka pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat  dibebaskan dari pemidanaan. Pembebasan pidana hanya dapat diberikan apabila deliknya diancam dengan maksimum pidana 1 tahun penjara atau 360 unit denda harian.
-          Apabila TOA telah dilakukan, maka penuntutan dihentikan (s. 153b StPO/ Strafprozessord-nung/KUHAP).

PERANCIS


-          UU 4 Januari 1993 mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code of Criminal Procedure) yang dikembangkan berdasar UU 18 Desember 1998 dan UU 9 Juni 1999 : penuntut umum dapat melakukan mediasi antara pelaku dengan korban, sebelum mengambil keputusan dituntut tidaknya seseorang.
-          Inti Pasal 41 CCP : penuntut umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan korban dan pelaku) apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang dapat memperbaiki kerugian yang diderita korban,  mengakhiri kesusahan, dan membantu memperbaiki (merehabilitasi) si pelaku.
-          Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru dilakukan; namun apabila berhasil penuntutan dihentikan (s. 41 dan s. 41-2 CCP- Code of Criminal Procedure).
-          Untuk tindak pidana tertentu, Pasal 41-2 CCP membolehkan penuntut umum meminta pelaku untuk memberi kompensasi kepada korban (melakukan mediasi penal), daripada mengenakan pidana denda, mencabut SIM, atau memerintahkan sanksi alternatif berupa pidana kerja sosial selama 60 jam. Terlaksananya mediasi penal ini, menghapuskan penuntutan.

-          Tindak pidana tertentu yang dimaksud Psl. 41-2 CCP itu ialah : articles 222-11, 222-13 (1° to 11°), 222-16, 222-17, 222-18 (first paragraph), 227-3 to 227-7, 227-9 to 227-11, 311-3, 313-5, 314-5, 314-6, 321-1, 322-1, 322-2, 322-12 to 322-14, 433-5 to 433-7 and 521-1 of the Criminal Code, under the articles 28 and 32 (2°) of the Ordinance of 18 April 1939 fixing the regime of war materials, arms and munitions, under Article L. 1 of the Traffic Code and under Article L. 628 of the Public Health Code


POLANDIA


-         mediasi pidana diatur dalam Pasal 23a CCP (Code of Criminal Procedure) dan Peraturan Menteri Kehakiman 13 Juni 2003 tentang “Mediation proceedings in criminal matters”.
-         Pengadilan dan jaksa, atas inisiatifnya atau atas persetujuan korban dan pelaku, dapat menyerahkan suatu kasus ke lembaga terpercaya atau seseorang untuk melakukan mediasi antara korban dan terdakwa. Proses mediasi paling lama satu bulan. Biaya proses mediasi ditanggung oleh perbendaharaan negara (State Treasury).
-         Hasil positif dari mediasi itu menjadi alasan untuk tidak melanjutkan proses pidana.
-         Mediasi dapat diterapkan untuk semua kejahatan yang maksimum ancaman pidananya kurang dari 5 tahun penjara. Bahkan kejahatan kekerasan (Violent crimes) juga dapat dimediasi.


MEDIASI VIOLENT CRIME

-         VOM (Victim-Offender Mediation) untuk violent crime diterapkan di Austria,  Polandia, Slovenia, Canada, USA, dan Norwegia;
-         Kasus-kasus KDRT (domestic violence) juga dapat di mediasi di United States, Austria, Poland, Denmark and Finland.



Mediasi penal sering dinyatakan meru-pakan ”the third way” atau ”the third path” dalam upaya ”crime control and the criminal justice system[4], dan telah digunakan di beberapa negara. Seberapa jauh kemungkinan itu dapat juga diterapkan di Indonesia, apa keterbatasan dan keunggulannya, serta bagaimana pengaturannya, tentunya memerlukan kajian yang mendalam dan komprehensif. Namun yang jelas, penyelesaian damai dan mediasi di bidang hukum pidana inipun sebenarnya sudah dikenal dalam hukum adat dan dalam kenyataan sehari-hari.
NOOR AUFA,SH,CLA
+6282233868677 (Phone/WA)




**) Di Austria terdiri dari ATA-J (Außergerichtlicher Tatausgleich für Jugendliche) untuk anak, dan ATA-E (Außergerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene) untuk orang dewasa.
[1] New York State Dispute Resolution Association, Inc., Alternative Dispute Resolution in New York State, An Overview, sumber internet.
[2] Lihat UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[3] Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany), “Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm
[4] Lihat antara lain, Deborah Macfarlane,  Victim-Offender Mediation in France , http://www. Mediation conference.com.au/2006_Papers/Deborah%20Macfarlane%20-%20VICTIM%20OFFENDER %20MEDIATION%20 IN%20 FRANCE1.doc ; Christa Pelikan. On Restorative Justice, www. restorativejustice.org/resources/docs/pelikan; Dieter Rössner, Mediation as a Basic Element of Crime Control: Theoretical and Empirical Comments, wings.buffalo.edu/ law/bclc/bclrarticles/3(1)/roessner.pdf ; Tony Peters, in colla-boration with Ivo Aertsen, Katrien Lauwaert and Luc Robert : From Community Sanctions To Restorative Justice, The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/ no61/ ch12. pdf

No comments:

Post a Comment

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)